Pembatalan Putusan Arbitrase Pra Dan Pasca Putusan MK
![]() |
| Pembatalan Putusan Arbitrase Pra Dan Pasca Putusan MK |
Proses penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui arbitrase menghasilkan putusan yang bersifat final dan mengikat (final and binding) yaitu merupakan putusan akhir yang berkuatan hukum yang mengikat para pihak yang bersengketa, sehingga dalam perkara arbitrase tidak dapat diajukan upaya hukum seperti pada peradilan umum lainnya, dalam proses penyelesaian sengketa arbitrase tidak dikenal banding, kasasi ataupun peninjauan kembali (PK), namun bagi pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan arbitrase dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase.
Mengenai pembatalan putusan arbitrase sendiri diatur didalam Pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa (UU AAPS) yang menyebutkan bahwa putusan dapat dibatalkan apabila putusan tersebut “diduga” mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
Dokumen yang diajukan diakui atau dinyatakan palsu
Putusan arbitrase diambil secara tipu muslihat
Ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan pihak lawan
Berdasarkan isi pasal 70 tersebut kemudian diperjelas didalam penjelasan pasal 70 yaitu “Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di Pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak gugatan”.
Dalam perkembangannya sendiri penjelasan pasal 70 oleh sebagian pihak yang merasa dirugikan atas penjelasan tersebut pun pernah mengajukan permohonan uji materill di Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2014 lalu dengan beberapa alasan yang pada pokoknya menyatakan, sebagai berikut :
penjelasan pasal 70 bertentangan dengan isi pokok pasalnya sehingga menimbulkan norma baru
yaitu terkait dengan frasa “diduga” yang terdapat dalam isi pokok pasal 70 sedangkan penjelasan pasalnya menggunakan klausula “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan” hal ini pun menimbulkan ketidakpastian hukum, karena pada kalimat diduga maknanya masih bersifat asumsi, sedangkan “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan” yang berarti bukan dugaan lagi, melainkan sudah terbukti.
penjelasan pasal 70 tidak operasional
ketika dikaitkan dengan pasal 71 terkait jangka waktu pembatalan putusan arbitrase sangatlah terbatas, yaitu hanya 30 hari, apabila suatu alasan pembatalan adalah “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan” maka secara normatif pengajuan permohonan pembatalan ke pengadilan negeri harus memenuhi salah satu dari tiga alasan yang ditentukan oleh isi pokok pasal 70, hal itu tidak dapat diterapkan apabila alasan permohonan pembatalan harus disertakan dengan putusan Pidana terkait dugaan pembuktian pemalsuan, penggelapan dokumen maupun adanya tipu muslihat. Karena dalam pelaksanaan hukum pidana hampir tidak ada proses hukum dugaan pidana yang menyelimuti penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan yang memutus perkara dugaan pidana dalam waktu hanya 30 hari.
Atas alasan-alasan itulah mendasari munculnya putusan MK, Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU.XII/2014 membawa angin segar bagi pihak-pihak yang selama ini merasa dirugikan atas penjelasan pasal 70 tersebut, atas munculnya putusan MK tersebut maka penjelasan pasal 70 menjadi tidak berkekuatan hukum tetap.
Dengan begitu maka selanjutnya, bagi pihak pihak yang ingin mengajukan permohonan pembatalan arbitrase maka tidak perlu disertakan putusan pengadilan, sebab hakim dalam memeriksa perkara permohonan putusan arbitrase tidak memerlukan lagi putusan pengadilan lain untuk membuktikan alasan pembatalan tersebut.
Namun disisi lain, ternyata ada dampak yang ditimbulkan dari putusan MK tersebut, dimana dalam putusan mahkamah konstitusi yang dalam amar putusannya menyatakan bahwa penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, hal tersebut tentu akan berdampak kepada eksistensi arbitrase secara kelembagaan maupun terhadap putusan arbitrase itu sendiri, terutama dalam hal permohonan pembatalan putusan.
Berikut ini beberapa dampak yang muncul akibat putusan MK No.15/PUU-12/2014, sebagai berikut :
Meningkatnya volume permohonan pembatalan putusan arbitrase di pengadilan negeri
sebelum munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka setiap permohonan pembatalan arbitrase yang diajukan dengan menggunakan salah satu dari tiga alasan dalam Pasal 70 tersebut harus dibuktikan atau didasari dengan adanya putusan pengadilan, hal itu akan sulit terpenuhi, apalagi jangka waktu permohonan hanya dibatasi selama 30 hari dari sejak putusan arbitrase tersebut didaftarkan di pengadilan negeri. Ketatnya syarat pengajuan ini menyebabkan sedikitnya permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diterima oleh pengadilan negeri.
Akan tetapi akibat dari munculnya putusan MK tersebut, permohonan pembatalan arbitrase menjadi sangat mudah dilakukan, karena hanya dengan “menduga” adanya pemalsuan, penggelapan dokumen maupun adanya tipu muslihat para pihak sudah memenuhi unsur-unsur untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase kepada pengadilan negeri, hal ini tentu akan berimbas pada meningkatnya volume perkara di pengadilan, sehingga tidak sejalan dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan yang merupakan prinsip pengadilan umum.
Tereduksinya sifat final dan mengikat pada putusan arbitrase
Selain itu dengan semakin mudahnya seseorang mengajukan permohonan pembatalan arbitrase dan semakin kendurnya persyaratan yang harus dipenuhi maka hal tersebut akan mereduksi sifat final dan mengikat yang ada pada putusan arbitrase. Sebagaimana diungkapkan oleh Prof Huala Adolf yang memberi kesaksian saat sidang perkara No.15/PUU-12/2014 yang menyatakan :
“berdasarkan prinsip non intervensi dan prinsip final dan mengikat dari putusan arbitrase, ketentuan dalam UU Arbitrase, khususnya pasal 70 dan penjelasannya haruslah dipandang sebagai suatu ketentuan yang harus membatasi dengan tegas agar putusan arbitrase tidak mudah dibatalkan.”
Menurunkan Kepercayaan Terhadap Lembaga Arbitrase Di Indonesia
Atas dampak yang ditimbulkan dari munculnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sebagaimana dijelaskan diatas maka akan menimbulkan keraguan dan menurunnya kepercayaan masyarakat baik didalam maupun duluar negeri terhadap putusan arbitrase di indonesia
Demikianlah Mengenai Pembatalan Pra dan Pasca Putusan MK, Semoga Bermanfaat
Author : Ifnu Nugroho

Komentar
Posting Komentar